Putri Kecil Ayah

Seharusnya aku berada di sisinya kala embusan napas itu berakhir. Memeluk erat tubuhnya yang semakin lemah dimakan usia. Kehadiranku, aku tahu ia menunggunya. Ayah, aku mohon maaf baru menjengukmu yang sudah terlanjur menutup mata selamanya. Ayah, aku mohon maaf baru memelukmu lagi sekian lama kala ragamu telah terbujur kaku. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Ayah untuk melanjutkan kehidupan orang dewasa. Percayalah Ayah, aku masih putri kecil Ayah. 

***

Hari ini aku pulang. Namun sekitar rumahku telah sesak dengan manusia yang akan mengantar Ayahku ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dengan menarik koper kecilku aku masuk rumah dengan pikiran yang kosong. Aku masih bingung, tetiba pukul 1 pagi Ibu meneleponku tersedu-sedu. Ibu memberi kabar bahwa Ayahku sedang kritis dan memintaku untuk segera pulang. Aku pulang dengan penerbangan paling pagi hari itu. Namun ternyata tuhan tidak mengizinkanku mengucap selamat jalan. Tepat seusai adzan shubuh Ayahku menutup usianya.

"Ibu.." panggilku lirih kepada sosok wanita yang tengah bersimpuh di samping raga Ayahku.

Ibu langsung menghambur tangis dan memelukku erat, "Jani! Ayah ninggalin kita." Sambil menahan sesak Ibu menangis dalam pelukku. Terus menangis padaku yang masih saja menatap kosong tubuh Ayahku. Air mataku sudah tidak bisa jatuh lagi. Aku telah menangis sepanjang jalan dari bandara hingga rumah. Tatapan kosongku malah melayangkan ingatan ketika Ayah memperkenalkanku dunia literasi. 

Ayah pulang malam hari itu. Aku masih menunggunya di depan TV sambil memeluk boneka. Melompat girang mendengar pintu terbuka.

"Ayah pulang!" teriakku senang berlari menghampirinya. "Ayah bawa oleh-oleh apa?"

"Ini ayah bawa buku Malin Kundang dan teman-temannya." 

"Yeay! Ayo yah cerita Malin." Di usia yang masih sekitar enam tahun Ayahku memang sudah sering bercerita kisah-kisah Malin Kundang, Sangkuriang, Si Kancil. Terkadang aku akan meminta cerita itu dibacakan berulang-ulang hingga aku tertidur pulas. 

Kelas 2 SD Ayahku berkata begini, "Jani di sekolah ada perpustakaan kan? Jani mau tantangan dari Ayah nggak?" Tentu saja aku mengangguk cepat penuh antusias. "Jani harus habis 1 buku dalam 1 minggu. Bisa nggak?"

"Bisa dong." Aku menjawab penuh yakin. 

Sejak itu aku menjadi pelanggan tetap perpustakaan sekolah. Aku senang sekali meminjam buku terutama yang bercerita tentang asal-muasal suatu daerah. Aku juga membaca novel KKPK, setiap akhir minggu aku akan memberi laporan kepada Ayahku. Kalau aku malas membaca aku akan membaca buku seri tokoh dunia yang dalam bentuk komik jadi aku akan lebih cepat membacanya karena lebih banyak gambar daripada tulisan.

Setiap malam papaku masih mengantarku tidur dengan kisah-kisah menarik. Favoritku adalah kisah kerajaan Singasari dan Majapahit. Tentang Ken Arok dan Patih Gajah Mada. Aku tidak sabar naik kelas 5 SD waktu itu. Sederhana, karena mata pelajaran IPSnya membahas mengenai kerajaan di Indonesia. Aku tidak sabar karena aku sudah hapal cerita-ceritanya.

Di kelas 5 SD pula aku mencoba menulis cerita pendek. Cerita pertamaku tentang persahabatan di sekolah. Aku senang waktu itu bisa dimuat di majalah sekolah. Melihat senyum lebar Ayahku bangga membuatku sangat puas.

Aku melepas pelan pelukan Ibu dan memeluh tubuh Ayahku yang sudah terbalut kafan. Aku menitikkan kembali air mata. Air mata yang kini tidak lagi berhenti karena hiburan dari Ayahku. Semakin lama semakin deras hingga Ibuku menenangkan dengan mengelus lembut puncak kepalaku.

"Jani yang sabar nak." Ujar Ibu dengan masih menangis. Semakin aku ingin menghentikan tangisanku semakin sesak dada ini. 

"Biar Bu. Biarkan Jani menangis di pelukan Ayah untuk terakhir kali. Jani akan sangat rindu menangis mengeluh di pelukan Ayah seperti ini Bu." Kata-kataku terasa susah keluar karena masih berusaha mengontrol tangisku.

“Ayo Jani coba kayuk ke sini.” Itu suara Ayah, aku berusaha mengayuh sepedaku perlahan ke arah Ayah. Aku senang, ini kali pertama aku belajar menaiki sepeda roda dua.

Ayahku melepas pegangannya untuk pertama kali dan menyuruhku untuk menuju ke arahnya. Baru aku coba, keseimbangan hilang dan aku jatuh hingga sempat terguling di aspal depan rumah. Aku menangis kencang karena kesakitan. Ayahku berlari dan langsung memelukku erat.

“Jani! Nggak papa Nak? Mana yang sakit?” Ayahku cukup panik dan mengecek sekujur tubuh mencari apakah ada yang luka. Reflek aku menunjuk lututku yang memang benar tertoreh luka. “Sudah tidak papa. Lukanya tidak parah Jani anak Ayah nggak boleh nangis yak an Jani anak kuat.” Tangisanku mereda karena kata-kata dan pelukan Ayah.

Tangisanku semakin tersengal mengingat semua kenangan kecil bersama Ayah. Tak lama Ibu menepuk pundakku dan membisikkan sesuatu. “Jani sudah ayo. Ayah akan segera dimakamkan.” Aku berdiri perlahan.

Orang-orang mulai mendekati Ayah akan segera mengangkutnya. “Sebentar!” Sergahku. “Akum au meluk sekali lagi buat terakhir kalinya.” Aku tidak mau menyesal, kupeluk lagi raga tanpa nyawa itu benar-benar untuk terakhir kali. Perasaanku masih berkecamuk, berusaha merelakan kepergian Ayah untuk selama-lamanya.

Aku bahagia sekali kala itu. Hari itu aku akan berangkat ke Bandung, memulai kehidupan baru di sana. Betapa antusias sekali diriku. Mengangan-angankan teman-teman baru dan lingkungan belajar baru. Segala hal yang sudah lama kuimpikan akan mulai hari itu.

Ayah dan Ibu mengantarkan hingga stasiun. Mereka ikut menunggu hingga keberangkatanku. Kereta datang Ibu segera menyuruhku untuk check in dan masuk kereta. Aku beranjak dan mencium punggung tangan kedua orangtuaku.

Seketika aku berbalik meninggalkan mereka Ayah memanggil, “Janitra…” Aku menoleh dan Ayah menghampiri cepat lalu memelukku erat.

“Ayah, Jani akan sering pulang kok jangan khawatir.”

“Ayah tahu. Jani jaga pergaulan ya di sana jangan lupa sering telepon rumah.” Jelas Ayah penuh perhatian. Setelahnya aku meregang pelukan itu dan berjalan menjauhi Ayah Ibuku.

Aku melambaikan tanga kepada mereka lalu masuk ke dalam kereta. Aku tidak lagi melihat Ayah Ibu setelah itu. Aku takut akan menangis bila menoleh kembali melihat wajah kedua malaikatku itu.  

Kali ini Ayahku yang pergi. Tidak menoleh kepadaku, tidak lagi memberi pesan-pesan penuh perhatiannya kepadaku. Tidak akan memberi lambaian perpisahan. Dan Ayah tidak akan menelepon ke rumah untuk selamanya.

***
Ayahku pergi, dan aku masih di sini menatap foto bahagianya bersama diriku yang masih bayi. Ayah terlihat masih sangat muda dan bugar saat itu. Ayah masih sanggup tersenyum lebar menggendong diriku putri kecilnya. “Ayah, aku masih dan selamanya akan jadi putri kecil Ayah.” 


Comments

Popular posts from this blog

Sempat Salah Jurusan, Tapi Mimpi Tetap Harus Dicapai

Tentang Kalian

Sedikit dari Aku