Laut Bercerita : Mengulas Tragedi Penghilangan Paksa Mahasiswa Masa Orde Baru
Biru Laut Wibisana. Aku mengenalnya dari pemutaran film pendek di acara Gramedia bulan April lalu. Film pendek yang sukses membuatku ikhlas membuang air mataku. Film pendek yang membuatku sangat tidak menyesal menempuh perjalanan Bandung-Jakarta dalam waktu hanya satu hari.
Sayangnya baru seusai lebaran aku bisa membeli novel yang sudah lama aku incar baik karena memang sebelumnya ketersediaannya di toko buku yang tidak Ada atau ketersediaannya dana di dompetku.
Sebenernya tidak hanya novel ini yang aku beli tapi novel ini yang kuputuskan untuk dibaca pertama kali.
"Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali..."
Kalimat di atas adalah puisi dari Sang Penyair yang tercetak di paragraf pertama bagian prolog buku ini. Membaca prolognya saja aku sudah harus mati-matian menahan sesak. Alhasil aku seringkali menutup buku untuk beristirahat setiap pergantian bab baru.
Pada sudut pandang Biru Laut, kita diajak untuk mengenang kembali bagaimana keharmonisan keluarga, setianya persahabatan, serta indahnya mencintai seseorang. Namun di sela-sela itu perasaan kita juga dijatuhkan oleh kelamnya penyiksaan, penyekapan, bahkan pengkhianatan. Biru Laut menceritakan semua dari dasar laut tempatnya kini berada.
Separuh buku lainnya ada kisah berdasarkan sudut pandang adik Biru Laut, yaitu Asmara Jati. Asmara Jati bercerita bagaimana kondisi keluarganya semenjak Laut menghilang. Apalagi semenjak Alex Perazon, teman Biru Laut yang juga diculik, akhirnya kembali dalam lingkar keluarganya. Keluarganya berharap dengan kembalinya Alex maka sewaktu-waktu Laut juga akan kembali.
Seusai Presiden Soeharto turun, nyatanya Biru Laut dan beberapa temannya tak kunjung kembali. Kala itulah kehidupan keluarga Wibisana hidup dalam penyangkalan-penyangkalan yang mana mempercayai mungkin saja Laut masih bersembunyi di rumah aman entah dimana.
Asmara Jati sebenarnya lelah, harus menghadapi bayangan Biru Laut selalu menjatuhkan air matanya lagi dan lagi. Maka dari itu Asmara bersama keluarga mahasiswa yang hilang lainnya membuat acara Kamisan untuk menolak lupa dengan tragedi penghilangan paksa tersebut.
Jujur buku ini seringkali menaikkan perasaan apalagi ketika Biru Laut jatuh cinta pada Ratih Anjani tapi tidak berani mengungkapkannya. Lalu ada lagi kenangan keluarga Wibisana yang selalu masak bersama di hari Minggu dengan mendengar alunan musik lawas. Sayangnya perasaan yang melambung tinggi harus dijatuhkan lagi dengan tragedi yang tidak disangka-sangka.
Buku ini juga adalah salah satu buku yang semakin membuat saya tertarik dengan buku fiksi sejarah lainnya. Terlepas dari itu semua jujur ingin kritik terhadap covernya. Mungkin bagi saya kalau belum menonton film pendek atau baca sinopsisnya cenderung akan saya kira buku anak-anak walau kalau diteliti ada ilustrasi kaki di sana yang menunjukkan seolah ada mayat di dasar laut itu.
Comments
Post a Comment